Politik Dinasti Dengan Lingkar Oligarkinya
pindonga.tv

Politik Dinasti Dengan Lingkar Oligarkinya

Politik Dinasti Dengan Lingkar Oligarkinya – Era ini masyarakat di Indonesia maupun dunia maya resah dengan suasana perpolitikan Indonesia yang sangat panas. Hal ini terjadi karena adanya politik turun temurun yang dilakukan dalam perpolitikan di Indonesia. Indonesia saat ini terdapat banyak menggunakan sistem politik Nepotisme. Kata Nepotisme berasal dari kata “nepos” yaitu keponakan atau cucu, pada abad pertengahan adanya beberapa paus katolik yang telah mengambil janji, sehingga tidak mempunyai anak kandung sehingga memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seakan akan seperti kepada anaknya sendiri. Nepostisme yaitu lebih memilih saudara arau kerabatnya berdasarkan hubungannya teapi bukan berdasarkan keahliannya.

Dinasti politik merupakan kekuasaan secara turun temurun Yang dilakukan melalui kelompok keluarga yang terikan dengan hubungan darah dengan tujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun dari pemilik dinasti kepada ahli waris agar kekuasaan berada di lingkungan keluarga, keluarga yang anggotanya terlibat dalam politik berbasis pemilihan umum, anggota keluarga politik terikat melalui keturunan atau pernikahan, juga melibatkan beberapa generasi atau saudara umum dianggap bukan keluarga politik, akan tetapi keturunan akhir keluarga kerajaan ikut serta ke dunia politik monarki absolut tetapi berkuasa di negara. idnpoker

Politik Dinasti Dengan Lingkar Oligarkinya

Kasus dinasti politik sebenarnya telah lama di bangun sejak orde baru namun pada saat ini baru bermunculan dari kasus korupsi yang dilakukan oleh Ratu Atut Chosiyah lalu tertangkapnya bupadi Kelaten Sri Hartini oleh KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) menyangkut promosi jabatan atau jual beli jabatan melalui bentuk lelang beberapa bulan lalu. Istilah dinasti politik dalam islam telah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah. www.benchwarmerscoffee.com

Pada dinasti Bani Umayyah kekuasaan dinasti kekeluargaan tersubur yang saat ini disebut sebagai era monarki atau kekuasaan turun menurun. Dilanjutkan dengan dinasti Abbasiyah runtuhnya ke dua dinasti itu disebabkan karena faktor politik ekonomi, dan lainnya.

Selain itu ada sejumlah alasan mengapa dinasti politik marak terjadi di daerah, salah satunya yaitu tidak adanya tokoh arternatif di tingkat lokal untuk menduduki jabatan di level eksekutif maupun legislatif. Adanya tokoh alternatif, tetapi kekuatan finansial maupun jaringan politik masih kalah dengan dinasti politik. Dinasti politik di bentengi oleh sistem kekerabatan yang kuat. Dinasti politik sering terjadi karna minimnya gerakan alternatif untuk memberikan pencerahan dengan tujuan mempertimbangkan calon lain.

Penulis mengambil satu kejadian tentang politik turun temurun dalam lingkaran oligarki Jokowi sebagai contoh kasus politik Nepotisme. Setelah menang dalam Pemilihan Presiden 2019, Presiden Joko Widodo memberikan jabatan politik ke sejumlah pendukungnya, baik di kementerian atau lembaga pemerintah ataupun kabinet. Di balik sikap tersebut ada aroma oligarki: mereka yang diuntungkan karena hubungan orangtuanya dengan Jokowi dan masuk dalam politik turun-temurun atau hereditary politics.

Setidaknya ada tiga orang yang mendapat jabatan dalam pemerintahan Jokowi jilid II dan sebagian orang percaya hal itu lantaran kedekatan orangtuanya dengan sang presiden. Mereka merupakan Angela Herliani Tanosoedibjo selaku Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta dua staf khusus Jokowi: Diaz Hendropriyono dan Putri Indahsari Tanjung.

Angela dan Putri adalah anak dari dua konglomerat di Indonesia, sedang Diaz adalah putra mantan Kepala Badan Intelijen Negara, A.M Hendropriyono. Sebelumnya sekjen Partai Perindo, Ahmad Rofiq, sudah lebih dulu menyebut nama Angela. Ia mengatakan Angela bisa jadi panutan anak muda karena tergolong muda, cerdas, dan cantik.

Indonesia Negara Demokrasi, Sangat disayangkan apabila Negara kita yang Demokrasi ternodai oleh Nepotisme yang kejam, rasanya seperti dikuasai oleh pihak tertentu. Seharusnya masyarakat dapat ikut serta dalam pemerintahan, tetapi politik dinasti menjadi penyakit yang hadir di tengah tengahnya bagai tak punya dosa, keluarga hadir membentengi, mengalahkan mereka yang berkompeten dan hanya berputar di kalangan elite politik.

Dilihat dari kacamata lain, politik dinasti pun mempunyai sesuatu yang baik, salah satunya calon pemimpin kelak lebih dikenal masyarakat, dan sudah mendapatkan pemahaman politik sejak dini dalam lingkungan keluarganya namun acap kali di Indonesia dijadikah ajang aji mumpung, ketika sang ayah berkuasa diwariskanlah kekuasaan serupa untuk anak, istri, atau anggota keluarga yang lain. Akhirnya yang berkembang adalah format patrimonial dengan kutub ekstremnya: negara patrimonial. Sebagaimana berlaku pada monarki tradisional, di negara patrimonial kekuasaan, baik politik maupun ekonomi, diwariskan secara turun-temurun di antara para keluarga.

Politik Dinasti Dengan Lingkar Oligarkinya

Negara Islam biasanya merupakan kerajaan, yang memiliki pemimpin turun temurun, meskipun agama di Indonesia mayoritas adalah islam, tapi jika dilihat dari sistem pemerintahannya Indonesia bukanlah Negara berbentuk Kerajaan, yang menggunakan sistem turun temurun. Indonesia berbentuk Negara kesatuan, maka sangat tidak riskan jika politik dinasti dilakukan di Indonesia. Meskipun dalam islam tidak selalu bersifat turun temurun.

Walau politik dinasti tidak dilarang, namun politik dinasti tidak memberikan keuntungan malah menimbulkan kerugian, tetapi di Indonesia sudah menjadi budaya yang sulit dihilangkan. Sempat ada Undang undang yang mengatur tentang politik dinasti  UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Dalam Pasal 7 huruf r disebutkan:

“Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.” Dan yang di maksud dengan “kepentingan dengan pertahana” adalah “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan”. Namun pasal tersebut dihapus oleh MK karena bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.

Salah satu prinsip  utama demokrasi adalah kebebasan kepada rakyat untuk memilih dan menentukan secara langsung siapa yang dipercayanya untuk memimpin negeri ini. Dan salah satu cita — cita reformasi tentu adalah mengatur dan membatasi masa jabatan pemimpin tadi, agar tercipta regenerasi kepemimpinan yang sehat untuk negeri, dan jauh dari stagnasi juga oligarki. Siapapun diantara kita yang sekarang menjabat pada posisi tertentu di negeri ini pasti menyadari, bahwa kita berada pada jabatan sekarang inipun karena adanya semangat regenerasi, demokrasi, dan reformasi. Demokrasi dan reformasi hadir tentu bukan untuk kita kebiri ataupun khianati.

Sementara itu Lokataru Foundation mendesak Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk memutus lingkaran setan oligarki politik di Indonesia.

Jokowi juga didesak mematuhi amanat konstitusi Undang-Undang 1945 dan HAM terkait kebebasan sipil warga negara yang kekinian dinilai mulai dikerdilkan.

Peneliti Lokataru Foundation Mufti Makarim menilai salah satu cara Jokowi untuk memutuskan lingkaran setan oligarki yakni dengan mengkaji ulang seluruh rencana pembangunan, membersihkan kabinet dari pelangggar HAM, hingga menghentikan seluruh aktivitas pemberangusan terhadap kebebasan sipil.

“Elemen masyarakat sipil yang peduli dan hendak melawan segala upaya pengerdilan ruang kebebasan sipil menyerukan pemerintah Jokowi untuk memutuskan lingkaran setan oligarki politik di Indonesia,” kata Mufti dalam diskusi publik bertajuk ‘Proyeksi Kebebasan Sipil di Periode Kedua Pemerintahan Joko Widodo’ di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.

Mufti mengungkapkan lima tahun belakangan ini di era kepemimpinan periode pertama Jokowi hanya berambisi terhadap pembangunan fisik, investasi, dan pembangunan ruang-ruang industri baru.

Namun, kata dia, pembangunan fisik tersebut tanpa diimbangi dengan pembangunan terhadap infrastruktur demokrasi serta keberpihakan terhadap pemenuhan hak-hak warga dan kepentingan publik.

“Ketimpangan ini makin kentara tatkala lahir kritik warga atas penggusuran lahan dan pengungsian paksa yang terus mengikuti di belakang rencana pembangunan Jokowi. Kritik diberangus melalui kriminalisasi, aktivis diintimidasi, diskusi dibubarkan, demonstrasi dikepung moncong senjata,” ujarnya.

Sementara itu, Mufti mengatakan Pilpres 2019 lalu yang sejatinya sebagai momentum demokrasi untuk mengoreksi terhadap kepemimpinan politik penguasa justru kekinian dinilai habis dibagi-bagi oleh elit politik dan oligarki.

Mufti menyebut kemenangan kedua Jokowi di Pilpres 2019 lalu mensyaratkan utang politik yang besar dan perlu dibayar melalui proyek-proyek strategis, pengesahan undang-undang yang pro industri dan investasi, serta berbagai insentif lainnya.

“Terjebak di antara kelindan elit dan korporasi ini, jelas lingkaran konflik agraria, penggusuran dan perusakan lingkungan yang sudah kami temui di periode pertama dapat terulang kembali. Demikian pun juga pengerdilan ruang kebebasan sipil berpotensi terus terjadi dalam skala dan frekuensi yang berlipat ganda,” tandasnya.

You may also like...