Sebar Hoax Lalu Diam, Siapa Yang Salah?

Sebar Hoax Lalu Diam, Siapa Yang Salah?

Sebar Hoax Lalu Diam, Siapa Yang Salah? – Pada akhir-akhir ini, di dunia maya banyak dimunculkan informasi atau berita palsu yang lebih dikenal dengan istilah hoax oleh sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab. Mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan kata Hoax, kata ini sering kita jumpai di berbagai media lisan maupun tulisan. Contoh yang bisa kita ambil seperti informasi yang disebarkan melalui grup whatsapp antar keluarga, pertemanan, dan juga grup whatsapp kantor.

Kata hoax bukan hanya disebarkan melalui media online saja, hoax menyebar kejahatannya melalui dunia nyata. Sebelum membahas lebih dalam tentang hoax kita sebagai masyarakat harus mengenal arti kata hoax terlebih dahulu, banyak masyarakat awam yang belum mengetahui tentang hoax itu sendiri, menurut pendapat Robert Nares hoax berasal dari kata hocus, sebuah kata latin yang merujuk pada hocus pocus. Menurut hocus, Nares menambahkan arti “to cheat” atau “menipu”. Pengertian “menipu” disini penulis dapat menjelaskan orang yang ditipu tak merasa dirugikan dan paham dia sedang dikacaukan. poker 99

Sebar Hoax Lalu Diam, Siapa Yang Salah?

Dapat dilihat wilayah Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa yang berada di antara daratan benua Asia dan Australia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau dengan populasi penduduk hampir 270.054.853 jiwa yang beraneka ragam suku, bahasa, agama, ras, dan budaya di setiap wilayah-nya. idnpoker

Dengan letak geografis dan geopolitik yang sangat strategis, dari pernyataan tersebut kita mendapatkan suatu pertanyaan besar, apakah hoax dapat dengan mudah tersebar di negara yang penuh dengan nilai ke-strategisan ini ?. Disini penulis akan membuktikan bahwa ada 800.000 situs penyebar hoax di Indonesia menurut Kementrian Kominfo, sudah jelas bahwa Indonesia yang memiliki perbedaan multikultural dapat dengan mudah mengonsumsi virus hoax yang dapat merusak nilai nasionalis warganya sendiri. Hal ini tidak bisa dibiarkan apabila virus hoax mudah tersebar di kalangan masyarakat, akan menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan di negara tersebut. Penulis mengambil kejadian penyebaran hoax di saat pra-pesta demokrasi di Indonesia sedang berlangsung pada bulan awal bulan September 2018 hingga akhir bulan April 2019 yang dimana siklus penyebaran hoax meningkat drastis. Tercatat ada 486 berita hoax, di antaranya 209 berita penyebaran hoax  terkait dengan politik di Indonesia. Dengan data yang penulis dapat bahwa peningkatan penyebaran hoax di Indonesia, dapat menyebabkan masyarakat tidak percaya terhadap lembaga pemerintahan, seperti lembaga Kepolisian indonesia, di saat aksi 22 Mei 2019, lembaga kepolisian di tuduh menyelundupkan seorang polisi yang berasal dari China, sehingga berita itu menyebar di berbagai jaringan media online,  dan terserap oleh masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat tidak percaya lagi yang namanya kepolisian. Kepolisian Indonesia mengklarifikasi kepada masyarakat Indonesia, bahwa tidak benar adanya polisi berasal dari China, ini hanya berita yang hanya ingin menjatuhkan citra kepolisian, dan mengajukan perpecahan. Bahkan isu hoax pun sudah mulai masuk ke perihal keagamaan. Seperti berita kemarin pada akhir bulan November 2019, terdapat isu yaitu viralnya foto barisan saf solat yang dikaveling dengan diberi nama pejabat-pejabat tertentu. Foto itu disebut-sebut berada di Kementrian BUMN. Foto tersebut menampakkan sejumlah sajadah yang dipasangi kertas bertuliskan jabatan-jabatan di Kementerian BUMN. Sontak para masyarakat terkaget-kaget setelah mengetahui informasi tersebut, dan bahkan ada yang berkomentar “bahwa semua ini sama di mata Tuhan, tidak ada yang harus di beda-bedakan dari tingkat profesi, ekonomi ataupun jabatan”. Menanggapi hal itu, Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga memastikan foto tersebut tidak benar. Arya menyebut foto yang beredar di media sosial adalah hoax. Arya menegaskan foto tersebut bukan diambil di lingkungan Kementerian BUMN. “Jadi bukan di Kementerian BUMN, ya,”. Harus dipahami dan cermati oleh masyarakat agar tidak mudah di dogma secara mentah-mentah dalam mengonsumsi informasi yang belum diketahui kebenarannya. Jika sudah terjadi perpecahan akibat hoax, siapa yang harus disalahkan ? Hal ini dapat membuktikan bahwa sudah hilangnya rasa nasionalis dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga dan pemerintah. www.americannamedaycalendar.com

Padahal sudah jelas tertera dalam Undang-Undang ITE pasal 28 ayat 1 menyebutkan ” Penyebar informasi bohong alias hoax bisa terkena sanksi berat. Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana paling lama 6 tahun dan denda maksimal Rp. 1 Miliar”. Lantas mengapa hoax masih beredar luas disejumlah jejaring sosial ? Penulis berasumsi bahwa tidak tegasnya pemerintah terhadap hukum yang berlaku sehingga berita hoax masih beredar hingga saat ini.

Dalam pandangan agama penyebaran berita hoax yang bersifat provokasi, ketakutan, atau kebingungan di tengah-tengah masyarakat akibat penyebaran berita yang tidak benar. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan tentang balasan bagi pendusta dalam agama islam, “cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang di dengar” (HR. Muslim No. 7). Janganlah kita tergesa-gesa menyebarkan informasi tersebut karena sikap ini hanyalah berasal dari setan. Bahkan sekelas istri Nabi yang bernama Siti Aisyah RA pernah terkena berita hoax (selingkuh). Kabar tidak benar ini membuat Rasulullah SAW resah sehingga turun wahyu dari Allah SWT. Menurut surat An-Nur ayat 11 : “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Setiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”. 

Kesimpulan yang dapat penulis sampaikan, kita sebagai masyarakat yang berintelektual seharusnya lebih me-waspadai terhadap yang namanya virus berita bohong atau hoax yang dapat menyebabkan perpecahan antar golongan, suku, agama, dan ras. Apabila masyarakat mencermati terhadap UU ITE pasal 28 ayat 1 dan Al-Quran sebaiknya tidak menyebarkan atau membuat berita bohong atau hoax. Yang akan mendapatkan hukuman pertanggung jawaban di dunia ataupun di akhirat. Kemudian pemerintah sebaiknya lebih tegas dalam menindak pencegahan berita hoax agar bangsa Indonesia tetap utuh, tidak mudah terpecah belah dan tetap terjaga keharmonisannya. 

*Penulis adalah Mahasiswa semester 1 yang berasal dari prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Ini Cara melaporkan berita atau informasi hoax :

– Apabila menjumpai informasi hoax, selanjutnya bagaimana cara untuk menghambat agar tidak tersebar. Pengguna internet mampu melaporkan hoax tersebut melalui fasilitas yang tersedia di tiap-tiap media.

Sebar Hoax Lalu Diam, Siapa Yang Salah?

– Sebagai sarana sosial Facebook, manfaatkan fitur Report Status dan kategorikan informasi hoax sebagai hatespeech/harrasment/rude/threatening, atau kategori lain yang sesuai. Jika tersedia banyak aduan dari netizen, biasanya Facebook bakal menghapus standing tersebut.

– Untuk Google, mampu manfaatkan fitur feedback untuk melaporkan situs dari hasil pencarian kalau mengandung informasi palsu. Twitter memiliki fitur Report Tweet untuk melaporkan twit yang negatif, demikian terhitung dengan Instagram.

– Lalu, bagi pengguna internet Anda mampu mengadukan konten negatif ke Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan melayangkan email ke alamat aduankonten@mail.kominfo.go.id.

– Masyarakat Indonesia Anti Hoax terhitung menyediakan laman data.turnbackhoax.id untuk menampung aduan hoax dari netizen. TurnBackHoax sekaligus berfaedah sebagai database memuat referensi berita hoax.

“LGBT”, Parpol Beresiko Dicap Negatif Jika Mendukung

“LGBT”, Parpol Beresiko Dicap Negatif Jika Mendukung

“LGBT”, Parpol Beresiko Dicap Negatif Jika Mendukung – Partai-partai politik tidak akan berani memperlihatkan bahwa pihaknya mengakomodir komunitas LGBT (lesbian, gay, bisexual dan transgender) dikarenakan hal tersebut memiliki konsekuensi politis yang sangat mendalam dan juga merugikan partai secara hitungan elektoral, menurut pengamat politik Universtias Andalas, Asrinaldi.

Dia menyampaikan hal itu ketika dimintai pendapatnya terkait kejadian pekan lalu ketika Parta Gerindra melalui cuitan di Twitter menyatakan pihaknya tidak setuju dengan Kejaksaan Agung yang melarang LGBT menjadi CPNS. poker99

Hal itu setelah itu diakui sebagai pengakuan yang menopang LGBT dan mendorong pihak partai untuk mengklarifikasi sikap mereka yang utamakan dukungan terhadap hak warga negara di dalam mencari pekerjaan.

“LGBT”, Parpol Beresiko Dicap Negatif Jika Mendukung

Asrinaldi mengatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas penganut agama Islam dan secara tahu tidak sepakat bersama LGBT yang diakui sebagai tabiat menyimpang. https://www.americannamedaycalendar.com/

Untuk masalah tersebut, Dede menambahkan, untuk kedalam konteks Pemilu atau Pilkada,dapat cenderung lebih banyak partai politik yang meyakinkan penentangannya sebab tahu bahwa kelompok LGBT sebenarnya merupakan kelompok minoritas di Indonesia bersama dengan jumlah suara yang kecil.

“Sehingga mereka pun tak apa rugi itu, ketimbang dari pada dia berbicara mengenai idealisme tetapi ya rugi secara elektoral masyarakat yang mayoritas Muslim, atau Islam, yang mampu menentang atau berikan label bahwa pada suatu partai itu merupakan pendukung LGBT,” ujar Asrinaldi kepada salah satu area berita Indonesia.

Beliau pun juga mengatakan bahwa sebuah partai akan berisiko dicap ‘negatif’ kecuali terkesan membantu komunitas LGBT, biarpun sebagai warga negara kelompok selanjutnya miliki hak yang serupa di mata hukum cocok yang diamanatkan di di didalam Undang-Undang Dasar. Namun Asrinaldi meyakinkan bahwa masyarakat tetap sulit membedakan pada tingkah laku seseorang dan haknya sebagai warga negara.

Wakil Sekjen Partai Gerindra, Andre Rosiade kala ditanya tentang cuitan account partainya, bersama jelas mengatakan sikap yang menentang tingkah laku LGBT

“Gerindra tak pernah mendukung LGBT,” kata Andre Rosiade, saat dihubungi salahsatu media berita Indonesia, pada hari Senin.

“Jati diri Gerindra perlihatkan bahwa Gerindra salah satu partai nasionalis, merakyat dan religius. Tak kemungkinan dong Gerindra membantu LGBT. Jadi yang dimaksudkan admin Twitter kami, sebenarnya bahwa prilaku mereka [LGBT] sebenarnya salah. Tapi jangan hingga hak mereka sebagai warga negara ditiadakan,” tambahnya.

Dalam penentuan legislatif lalu, Gerindra nampak sebagai partai terbesar ketiga yang mendiami 78 kursi berasal dari 575 kursi DPR RI.

‘Isu sensitif’

Mengenai isu ini, Asrinaldi, seorang Dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, menjelaskan bahwa sikap Partai Gerindra yang dengan paham menentang LGBT berdasarkan pertimbangan politik dengan paham potensi kuantitas suara.

“Memang hal itu resikonya yang kudu dipilih oleh Partai Gerindra, jikalau sebenarnya dia menganggap itu sebagai cara populer dia untuk tingkatkan nada pemilih di luar grup LGBT, pasti itu pertimbangan politik,” ujarnya.

“Walaupun sebagai partai yang berkuasa pada hari ini, apa yang dilakukannya itu paham diskriminatif, menurut aku layaknya itu. Dan ingat bahwa negara kami itu adalah negara Pancasila, bukan negara didalam konteks agama tertentu. Jadi sebenarnya kudu tersedia pembedaan juga.”

Namun, Asrinaldi mengakui bahwa pemahaman di kalangan penduduk lazim tetap kurang.

“Ini sebenarnya agak sensitif, walau didalam konteks ini kemungkinan partai hanya mengakomodir area bagi mereka [kelompok LGBT] mampu berpartisipasi didalam politik. Tetapi ketika ini tidak hingga komunikasinya pada publik, publik akan memberi label negatif kepada partai itu. Kalau itu terjadi, paham efek elektoralnya sangat besar sekali,” ujarnya.

Sikap serupa termasuk ditunjukkan oleh PDI Perjuangan yang merupakan pemenang penentuan legislatif 2019.Sebagaimana dikatakan oleh anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP, Effendi Simbolon, partai selanjutnya terbuka dan inklusif agar tidak membatasi baik secara gender, agama, latar belakang maupun suku.

Dia pun menjelaskan bahwa nilai-nilai agama dan budaya yang dianut di Indonesia sebenarnya tidak menerima prilaku itu, walau isu selanjutnya merupakan hak privasi seseorang.

“Itu kan persoalan keyakinan, karena menjadi persoalan keyakinan, persoalan prinsip, ya memang, kami secara terbuka tidak pernah melakukan proses yang diskriminatif. Tapi sekaligus termasuk tidak memposisikan membela kepentingannya LGBT,” ujar Effendi.

Untuk sementara dari persoalan itu, dan untuk beberapa jumlah persoalan-persoalan yang terpisah pada bulan Januari lalu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) membantah membuat spanduk yang bertuliskan “PSI Hargai Hak-Hak LGBT” yang terpampang di sejumlah titik di jembatan penyeberangan di Jakarta.

PSI, yang adalah salah satu partai pendatang baru pada pemilu di bulan April lalu, cepat didalam menanggapi kejadian selanjutnya sesudah gambar-gambar mengenai spanduk menjadi viral di sarana sosial ketika itu.

PSI menolak keinginan wawancara dengan salahsatu sarana pers Indonesia pada hari Senin tempo hari ketika ditanyakan sikap partai berkaitan isu LGBT.

“LGBT”, Parpol Beresiko Dicap Negatif Jika Mendukung

‘Mempromosikan kesetaraan’

Menurut seorang aktivis, Dede Oetomo, yang dimana merupakan salah seorang pendiri dari Gaya Nusantara, organisasi nirlaba yang fokus memperjuangkan hak-hak LGBTIQ, mengakui bahwa komunitas LGBT dianggap sebagai golongan yang mampu merugikan didalam ranah bidang politik.

Dia pun memberikan penjelasan bahwa organisasinya, yang bergerak di Provinsi Jawa Timur, konsisten menggerakkan program untuk mendekati beragam pemangku kepentingan masyarakat, termasuk politikus, dengan obyek membuat perubahan penduduk menjadi lebih terbuka pada grup minoritas.

“Apabila coba untuk diamati, berasal dari sepengertian kami mengenai demokrasi, di didalam demokrasi itu seharusnya kami termasuk mempunyai hak untuk mempromosikan kesetaraan gender dan seksualitas,” ujar Dede kepada salahsatu sarana pers Indonesia melalui kelanjutan telepon.

Ia memberi tambahan bahwa partai politik berperan mutlak didalam menghadapi intoleransi.

“Bagi aku ini tantangan jangka panjang, hingga suatu kala nanti, politisi Indonesia lebih berani dan suasananya memungkinkan,” kata Dede.

Dari hasil sebuah penulusuran yang memberikan Laporan LGBT Nasional Indonesia yang dimana – Hidup Sebagai LGBT di Asia terhadap tahun 2013, yang disusun oleh Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan bekerja serupa dengan Badan Program Pembangunan PBB (UNDP), kuantitas organisasi LGBT di Indonesia relatif besar.

Laporan itu menjelaskan ada dua jaringan nasional dan 119 organisasi yang didirikan di 28 dari 34 provinsi di Indonesia.

Sebagian besar di antaranya aktif berperan di bidang kesehatan, publikasi, dan penyelenggaraan aktivitas sosial dan pendidikan.

Untuk informasi yang menunjukkan akan berapa nilai dari jumlah LGBT di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun pada catatan Kementerian Kesehatan pada tahun 2012, memperkirakan terdapat 1.095.970 LSL (lelaki sama lelaki) di Indonesia. Angka itu diprediksi terus bertambah.

RKUHP : Diskriminasi Terhadap LGBT :

Seputar Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai akan semakin membuat kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) terdiskriminasi.

Sebab, Pasal 421 (1) tentang pencabulan menyebutkan secara eksplisit soal perbuatan cabul sesama jenis.

“Setiap individu yang dimana melakukan sebuah pencabulan atau pebuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sesama jenis kelaminnya di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun enam bulan atau pidana denda terbanyak kategori III,” demikian bunyi pasal itu.

Sementara jika perbuatan cabul itu dilakukan secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, ancaman pidananya adalah penjara maksimal sembilan tahun. Begitu juga ancaman pidana untuk tindakan cabul yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi.

Anggara, Direktur Institute for Criminal Justice (ICJR) menilai penentuan unsur pidana pencabulan tak diperlukan penegasan mengenai jenis kelamin.

“Sebagian dari syarat yang terdapat dalam hukum dapat mengkriminalisasikan seorang atas pencabulan telah terpenuhi sehingga penyebutan jenis kelaminnya berbeda atau sama secara redaksional tidak perlu,” kata dia.

Selain memicu perlakuan diskriminatif, ia khawatir kemunculan pasal tersebut akan melahirkan peraturan turunan yang tak ramah kepada kelompok LGBT.

“Pada levelnya peraturan seperti ini jelas akan semakin memicu kerentanan bagi kelompok orientasi seksual yang berbeda untuk dikriminalisasi maupun distigma ketika bergaul dalam hidup bermasyarakat,” tuturnya.

Berdasarkan data dari LBH Masyarakat, sepanjang tahun 2017 terdapat lebih dari 973 kasus kekerasan terhadap komunitas minoritas seksual (LGBT) atau sesama jenis di seluruh Indonesia.

Angka-angka ini diprediksi kian meningkat jika Pemerintah dan DPR tetap memaksakan rumusan diskriminatif dalam RKUHP. Karena itu ICJR menegaskan penolakannya terhadap ketentuan ini.

“Untuk menghindarkan celah kesewenang-wenangan oleh negara dalam memasuki ruang-ruang privasi warga negara dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual,” pungkas Anggara.

Pada beberapa waktu lalu, Komisi III DPR dan Pemerintah sudah sepakat membawa naskah RKUHP ke Rapar paripurna DPR untuk disepakakati.

Para Kelompok Elit Dan Kuatnya Kekuasaan

Para Kelompok Elit Dan Kuatnya Kekuasaan

Para Kelompok Elit Dan Kuatnya Kekuasaan – Demokratisasi yang menimbulkan nasionalisme apabila golongan elit yang kuat di dalam suatu negeri perlu memanfaatkan rakyat untuk tugas perang dan pembangunan ekonomi, tetapi mereka tidak mau menyerahkan wewenang politik kepada rakyat itu.

Bagi golongan elit tersebut, nasionalisme merupakan doktrin yang kebetulan saja cocok sebagai alat untuk membenarkan demokrasi tanggung : golongan elit berkuasa atas nama rakyat, bangsa, atau kelompok SARA, tetapi tidak sepenuhnya bertanggungjawab kepada rakyat. Usaha kelompok elit pilitik ini bisa mengakibatkan terjadinya konflik sosial, yang pada akhirnya dapat menghentikan proses demokratisasi itu sendiri. pokerasia

Para kelompok elit disini berartikan para kelompok yang memiliki kekuasaaan yang dapat mengendalikan segala situasi politik guna untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan pribadinya, rakyat pun tidak lagi diperdulikan oleh para kelompuk elit yang berkuasa. Sehingga masih banyak warga yang kecewa atas apa yang menjadi pilihannya untuk menjadikan mereka penguasa di negeri tercinta ini. www.mrchensjackson.com

Para Kelompok Elit Dan Kuatnya Kekuasaan

Nasionalisme merupakan sebuah bentuk cinta tanah air, namun nasionalisme tersebut disalahgunakan oleh kelompok elit yang berkuasa untuk mencapai tujuan dari kepentingan pribadinya, sehingga rakyat yang haus dengan nasionalisme menyebabkan konflik SARA yang berujung dengan pertumpahan darah. Oleh karena itu, pemahaman tentang nasionalisme sangat penting supaya tidak dijadikan doktrin oleh kelompok elit.

Negara Indonesia masih belum dapat menerapkan demokrasi, karena pada dasarnya demokrasi itu bertujuan untuk menciptakan suatu perdamaian, namun nyatanya, dalam kegiatan pemilu, yang seharusnya LUBER (langsung, umum bebas, rahasia), dan JURDIL (jujur dan adil), malah dalam pemilu saat ini masih banyak terjadi kecurangan yang dibuat oleh para kelompok elit yang memegang kekuasaan untuk menempatkan posisi yang diinginkan.

Rakyat diberikan janji manis dan harapan yang sangat indah untuk mendapatkan sebuah kepercayaan kepada kelompok elit, sehingga kelompok elit tersebut dapat mengatur segala aturan yang ada dan mendapatkan keuntungan dari kekuasaanya, rakyat hanya bisa menunggu harapan dan janji manis yang diberikan oleh kelompok elit tersebut.

Namun apa daya, semuanya hanyalah sebuah kata-kata, tidak ada hasil yang jelas dari segala kata yang diberikan oleh kelompok elit tersebut, sehingga menimbulkan sebuah demonstrasi yang menuntut semua kata-kata para kelompok elit tersebut, tetapi dengan demonstrasi pun tidak membuahkan hasil, para kelompok elit tidak mendengar segala keluhan rakyatnya.

Sebuah acuan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dalam demokrasi pun hanyalah sebatas kata omong kosong yang diucap oleh para kelompok elit, tidak ada hasil apapun yang dirasakan rakyat dari sebuah ucapan tersebut. Bahkan para rakyat yang berdemopun tidak mendapatkan hasil, karena suaranya tidak didengar.

Geopolitik merupakan dimana suatu wilayah yang melibatkan hal politik dalam berbagai aturan yang kadang menimbulkan konflik karena perbedaaan pendapat, politik memang saat ini sangat melekat dalam kehidupan, hampir segalanya berhubungan dengan politik. Geopolitik itu sendiri penting, karena dapat memberikan pemahaman untuk mencegah konflik tersebut. Pengertian dan kesadaran geopolitik akan membantu kita memahami bagaimana kepentingan telah membentuk kehidupan kita terutama dalam interaksi sosial.

Pentingnya mengetahui pemahaman tentang geopolitik, demokratis, dan nasionalisme, agar tidak mudah dipengaruhi oleh kelompok elit yang berkuasa, dan agar rakyat bisa ,mendapatkan haknya yang memang seharusnya mereka dapatkan, sehingga terciptanya sebuah kehidupan yang sejahtera dan penuh kedamaian.

Perdamaian dan kesejahteraan merupakan sebuah keinginan yang dimiliki seluruh rakyat Indonesia, tetapi untuk terciptanya hal tersebut, perlu adanya perubahan besar dari kelompok elit yang berkuasa, dengan lebih mementingkan segala kebutuhan rakyatnya, dan lebih mendengarkan opini rakyat, sehingga acuan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tidaklah menjadi omong kosong belaka lagi, tetapi semua itu sangat sulit untuk diterapkan di masa ini, korupsi menjadi sebuah budaya yang tidak bisa hilang.

Kekuasaan memanglah hal yang dianggap paling penting, karena itulah segalanya dapat di lakukan oleh pemegang kekuasaan tersebut, segala aturan dibuat oleh para pemegang kekuasaan, jika tidak ada kekuasaan kita hanyalah kambing hitam yang hanya bisa berdiam tanpa bisa memberontak, karena yang berkuasalah yang bisa mengatur dan memegang segalanya, sehingga timbulah adu domba yang menimbulkan konflik SARA, yang memecah belah setiap kelompok, persatuan pun sulit dilakukan karena tidak adanya kepercayaan satu sama lain.

Kekuasaan merupakan seubuah pegangan yang kuat untuk menguasai yang ada di negara ini, karena adanya kekuasaan segalanya dapat diatur oleh para pemegang kuasa tersebut, sehingga bagi yang tidak memiliki kekuasaan tidak dapat berkata apapun, dan hanya bisa menuruti segala perintah dari para kelompok elit yang memegang kekuasaan.

Rakyat tidak bisa berkutik ketika para kelompok elit sudah memberikan sebuah aturan, konflik pun terjadi ketika rakyat tidak setuju dengan apa yang menjadi keputusannya, segala keluh kesah rakyat pun tidak didengar oleh para kelompok elit, hal ini berkaitan dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh tikus-tikus berdasi yang hanya mementingkan diri sendiri. Korupsi sudah ada sejak lama, namun ketika zaman soeharto lengser, munculah KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) yang menjadi ramai diperbincangkan pada saat itu, korupsi dianggap sangat merajalela dan secara khusus harus ditangani dengan institusi khusus sehingga didirikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada tahun 2004.

Namun nyatanya lembaga tersebut belum sepenuhnya memberikan pengaruh yang besar, bahkan Korupsi merupakan hal yang lumrah pada saat ini, rakyat hanya bisa diam ketika para kelompok elit melakukan hal tersebut, segala cara dilakukan untuk memberantas kasus tersebut, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk melakukannya lagi, karena hukuman yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang diperbuat, sebuah fasilitas vip dibalik jeruji besi hanyalah membuat para penguasa menjadi menyepelekan sebuah hukum yang berlaku, dan kembali melakukan korupsi.

Para Kelompok Elit Dan Kuatnya Kekuasaan

Pada saat ini banyak kasus penyuapan, penggelapan, pencucian, penyeludupan uang, yang dilakukan oleh para pemegang kuasa, yang saat ini menyalahgunakan kekuasaannya hanya untuk mendapatkan keuntungan lebih dan keuntungan tersebut hanya untuk kepentingan pribadi, kasus korupsi E-KTP contohnya, yang pada saat itu sangat ramai di perbincangkan oleh publik, kasus tersebut memyebabkan kerugian yang mencapai triliunan, masyarakat pun sangat dirugikan dengan adanya kasus tersebut.

Tidak adanya hukuman yang setimpal atas tindakan kasus korupsi yang semakin merajalela, membuat para kelompok elit menjadi tidak jera dengan apa yang mereka perbuat, sehingga mereka mengulang apa yang diperbuat, seharusnya para koruptor diberikan hukuman yang berat, karena korupsi membuat kerugian yang sangat besar di negara ini, hutang negara pun semakin bertambah.

Dengan adanya korupsi yang semakin merajalela, banyak sekali hambatan, dalam hal perekonomian, pembangunan, kesehatan, dan pendidikan, yang menimbulkan banyak kerugian, dan banyak sekali rakyat yang merintih kelaparan karena banyaknya pengangguran di Indonesia.

Korupsi di negara ini sudah menjadi budaya, maka dari itu sulit sekali untuk memberantas korupsi, berbagai cara sudah dilakukan oleh KPK (komisi pemberantasan korupsi), tetapi tidak mendapatkan hasil yang maksimal, malah pada saat ini korupsi semakin banyak dilakukan oleh kelompok elit untuk mendapatkan kehidupan yang mewah dan bergelimangan harta.

Secara umum korupsi adalah penggunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Kekuasaan publik adalah kekuasaan yang diberikan oleh publik. Korupsi seringkali didefinisikan dengan mengacu pada standar nilai masyarkat tertentu yang tidak selalu bisa diterima oleh masyarakat lainnya.

Dengan seluruh pembahasan ini, memberikan sebuah ganbaran untuk para penerus bangsa yang selanjutnya, agar terciptanya perubahan, yaitu tercapainya sebuah perdamaian dan kesejahteraan, maka hal utama yang harus dirubah adalah perilaku para kelompok elit untuk dapat membuktikan segala ucapannya yang tidak hanya sekedar janji-janji manis dan harapan.

Hambatan Terbesar Jokowi Dalam Menyelesaikan Kasus HAM

Hambatan Terbesar Jokowi Dalam Menyelesaikan Kasus HAM

Hambatan Terbesar Jokowi Dalam Menyelesaikan Kasus HAM – Riset dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Litbang Kompas mengungkapkan mayoritas masyarakat Indonesia menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin kesulitan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu karena ingin menjaga harmonisasi politik atau nuansa politis.

Didasarkan pada hasil riset itu, 73,9 % responden menganggap nuansa politis menjadi hambatan utama. Selain daripada itu, 23,6% persen beranggapan presiden tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah kasus HAM masa lalu, dan hanya 2,5% yang menjawab tidak tahu.

Hambatan Terbesar Jokowi Dalam Menyelesaikan Kasus HAM

“Hasil tersebut mengkonfirmasi bahwa kasus pelanggaran HAM berat bukan karena teknis hukum. Jika masih saling lempar pendapat, kurang bukti dan macam-macam, itu dibantah sendiri oleh masyarakat.

“Andai saja hambatan ini bisa diselesaikan, maka 90 hari proses penyidikan, lalu masuk penuntutan sehingga tidak sampai satu tahun bisa diselesaikan di pengadilan. Bila hambatan politisnya bisa dikurangi,” kata komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Rabu (04/12). poker asia

Salah satu media pers Indonesia berusaha menghubungi kantor kepresidenan untuk meminta tanggapan atas hasil survei itu, namun hingga berita ini diturunkan belum mendapat jawaban. https://www.mrchensjackson.com/

Dalam visi-misi kampanye Pilpres 2019, Jokowi-Ma’ruf berjanji bakal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di era lalu. Belakangan ini pemerintah mengungkapkan rencana untuk membangkitkan ulang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk selesaikan kasus-kasus tersebut yang sepanjang ini terbengkalai.

Ketika konferensi pers tentang survei untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu pada era kepemimpinan Joko Widodo itu, peneliti Litbang Kompas Christian M. Marpaung memberikan penjelasan bahwa hambatan politis merupakan hasil dari proses pengkodean atas semua jawaban yang disampaikan responden.

Pendapat beliau, mayoritas responden memandang faktor politik sebagai penghambat utama, seperti kepentingan untuk menjaga supaya tidak memunculkan kericuhan dan merusak harmoni politik.

Penelitian tersebut menggunakan metodologi kuantitatif survei dengan melakukan wawancara tatap muka di 34 provinsi. Jumlah para responden yaitu 1200 orang dengan batas galat sekitar 2,8% dan dilakukan pada September 2019 hingga Oktober 2019.

Survei itu mengambil lima kasus pelanggaran HAM yang menarik perhatian publik, yaitu pelanggaran HAM pada tahun 1965, penembakan misterius dari tahun 1982 hingga 1985, penculikan aktivis pada 1997 hingga 1998, penembakan di Trisakti dan Semanggi tahun 1998, dan kerusuhan Mei 1998.

Ahli khusus politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai hambatan tersebut muncul karena ada beberapa figur penting yang diduga terlibat pelanggaran HAM masa lalu sedang memegang jabatan politik. Sehingga, pendapatnya, pejabat tersebut berkepentingan untuk mempetiemaskan kasus HAM tersebut agar tidak menjatuhkan karier politiknya.

“Dikarenakan negara, pemerintah, tidak berani, karena itu melibatkan orang penting di negeri ini, karena punya rahasia juga terhadap negara ini. Ada tekanan politik.

“Ini merupakan lingkaran setan, lingkaran kusut, hari demi hari, tahun demi tahun, dari periode-periode sebelumnya tidak pernah tuntas. Hal tersebut jadi persoalan di bangsa ini,” kata Ujang yang juga menjabat sebagai direktur eksekutif Indonesia Political Review (IPR).

‘Pengadilan, bukan rekonsiliasi’ pelanggaran HAM

Selain daripada itu, survei tersebut juga menunjukan bahwa 99,5% responden ingin penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur pengadilan, yang mana 62,1%ingin menggunakan pengadilan nasional dan 37,2% melalui pengadilan internasional.

Kemudain, hanya 0,5% yang ingin kasus itu diselesaikan dengan mekanisme lainnya, salah satunya seperti pembentukan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang kini sedang diwacanakan oleh pemerintah.

“Sehingga jika sekarang mau rekonsiliasi, itu salah satu bagian dari 0,5%. Jadi selesaikan menarasikan KKR karena mayoritas masyarakat ingin penyelesaian melalui jalur pengadilan. Komnas khusus HAM menghormati penyelesaian di pengadilan nasional maupun internasional,” kata Choirul Anam.

Choirul pun melanjutkan temuan menarik lainnya dalam survei tersebut adalah belasan persen responden yang menganggap peristiwa 1965, Petrus 1982-1985, penculikan aktivis 1997-1998, penembakan Trisakti-Semanggi 1998, dan kerusuhan Mei 1998 sudah diselesaikan. Padahal, hingga kini, menurutnya, kelima kasus tersebut belum ada yang tuntas.

Pendapatnya, pemerintah dalam lima tahun terakhir menggunakan metode penyelesaian kasus HAM dengan pendekatan kekeluargaan dengan saling memaafkan, lalu pendekatan budaya, dan ganti rugi yang ditunjukan dengan munculnya tim terpadu dan dewan-dewan kerukunan nasional dan menyampaikan pesan bahwa kasus itu telah selesai.

“Mengapa muncul angka bahwa itu sudah selesai bisa jadi karena pengaruh kampanye bahwa kasus ini sudah selesai, tinggal salam-salaman saja, terus kasih hak korban. Itu merupakan yang lima tahun terakhir sering didengungkan berbagai pihak yang tidak mau kasus ini diselesaikan dengan cara hak asasi manusia,” katanya.

Penyelesaian kasus masih simpang siur di mata publik, berikut hasilnya:

– Kejadian 1965: 38,6% tidak tahu, 34,9% belum tuntas, 19,2% sudah tuntas

– Tembakan misterius 1982-1985: 44,8% tidak tahu, 32,1% belum tuntas, 15,7% sudah tuntas

– Diculiknya aktivis 1997-1998: 43,4% belum tuntas, 36,5% tidak tahu, dan 12,4% sudah tuntas

– Tembakan ke Trisakti-Semanggi 1998: 42,2% belum tuntas, 37,3% tidak tahu, 14,4% sudah tuntas

– Kerusuhan pada Mei 1998: 40% belum tuntas, 35,2% tidak tahu, 15,9% sudah tuntas.

– Choirul pun berharap melalui survei tersebut, pemerintah dapat mengambil kebijakan yang tepat sasaran dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.

Seiringnya hal itu, Ujang mengatakan, penyelesaian kasus HAM masa lalu akan terjadi jika ada keinginan politik dari pemimpin negara dan pemerintah Indonesia, yaitu Presiden Joko Widodo, untuk menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi.

Pendapatnya, Jokowi merupakan pemegang kunci utama untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.

Hambatan Terbesar Jokowi Dalam Menyelesaikan Kasus HAM

Kasus agraria

Bukan hanya perkara pelanggaran HAM, Komnas juga mencermati kasus agraria yang terjadi seiring berbagai proyek infrastruktur di era pemerintahan Jokowi.

Jumlah dari kasus tersebut dikhwatirkan meningkat setelah dicapai kesepakatan investasi infrastruktur senilai lebih dari Rp245 triliun dalam pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, pekan lalu.

“Kami merasa khawatir, semakin besar investasi infrastrukur, lahan akan semakin dikuasai swasta. Bukan hanya terjadi pengosongan lahan, tapi juga intimidasi terhadap masyarakat,” kata Taufan.

Walaupun begitu, Komnas HAM mencatat perbaikan pengelolaan konflik saat Jokowi menerbitkan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria.

Beleid itu menjamin strategi mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan dan proses penanganan sengketa agraria.

“Isu agraria nilai untuk pemerintah belum sampai 50 karena kasusnya banyak sekali. Tapi paling tidak sudah ada kerangka hukum meski belum memuaskan,” ujar Taufan.

Pada catatan Komnas HAM, dalam setahun terakhir kasus intoleransi dan pelanggaran atas kebebasan berekspresi marak terjadi di Indonesia.

Taufan menyebut kepolisian gagal menindak pelaku penyerangan kelompok rentan seperti Ahmadiyah. Di sisi lain, kepolisian dianggap tak netral dalam sejumlah kasus pembubaran diskusi maupun persekusi kelompok minoritas.

“Pekerjaan rumah masih cukup banyak, karena tinggal beberapa bulan lagi, pemerintah seharusnya menetapkan skala prioritas penyelesaian kasus,” kata Taufan.

Politik Dinasti Dengan Lingkar Oligarkinya

Politik Dinasti Dengan Lingkar Oligarkinya

Politik Dinasti Dengan Lingkar Oligarkinya – Era ini masyarakat di Indonesia maupun dunia maya resah dengan suasana perpolitikan Indonesia yang sangat panas. Hal ini terjadi karena adanya politik turun temurun yang dilakukan dalam perpolitikan di Indonesia. Indonesia saat ini terdapat banyak menggunakan sistem politik Nepotisme. Kata Nepotisme berasal dari kata “nepos” yaitu keponakan atau cucu, pada abad pertengahan adanya beberapa paus katolik yang telah mengambil janji, sehingga tidak mempunyai anak kandung sehingga memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seakan akan seperti kepada anaknya sendiri. Nepostisme yaitu lebih memilih saudara arau kerabatnya berdasarkan hubungannya teapi bukan berdasarkan keahliannya.

Dinasti politik merupakan kekuasaan secara turun temurun Yang dilakukan melalui kelompok keluarga yang terikan dengan hubungan darah dengan tujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun dari pemilik dinasti kepada ahli waris agar kekuasaan berada di lingkungan keluarga, keluarga yang anggotanya terlibat dalam politik berbasis pemilihan umum, anggota keluarga politik terikat melalui keturunan atau pernikahan, juga melibatkan beberapa generasi atau saudara umum dianggap bukan keluarga politik, akan tetapi keturunan akhir keluarga kerajaan ikut serta ke dunia politik monarki absolut tetapi berkuasa di negara. idnpoker

Politik Dinasti Dengan Lingkar Oligarkinya

Kasus dinasti politik sebenarnya telah lama di bangun sejak orde baru namun pada saat ini baru bermunculan dari kasus korupsi yang dilakukan oleh Ratu Atut Chosiyah lalu tertangkapnya bupadi Kelaten Sri Hartini oleh KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) menyangkut promosi jabatan atau jual beli jabatan melalui bentuk lelang beberapa bulan lalu. Istilah dinasti politik dalam islam telah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah. www.benchwarmerscoffee.com

Pada dinasti Bani Umayyah kekuasaan dinasti kekeluargaan tersubur yang saat ini disebut sebagai era monarki atau kekuasaan turun menurun. Dilanjutkan dengan dinasti Abbasiyah runtuhnya ke dua dinasti itu disebabkan karena faktor politik ekonomi, dan lainnya.

Selain itu ada sejumlah alasan mengapa dinasti politik marak terjadi di daerah, salah satunya yaitu tidak adanya tokoh arternatif di tingkat lokal untuk menduduki jabatan di level eksekutif maupun legislatif. Adanya tokoh alternatif, tetapi kekuatan finansial maupun jaringan politik masih kalah dengan dinasti politik. Dinasti politik di bentengi oleh sistem kekerabatan yang kuat. Dinasti politik sering terjadi karna minimnya gerakan alternatif untuk memberikan pencerahan dengan tujuan mempertimbangkan calon lain.

Penulis mengambil satu kejadian tentang politik turun temurun dalam lingkaran oligarki Jokowi sebagai contoh kasus politik Nepotisme. Setelah menang dalam Pemilihan Presiden 2019, Presiden Joko Widodo memberikan jabatan politik ke sejumlah pendukungnya, baik di kementerian atau lembaga pemerintah ataupun kabinet. Di balik sikap tersebut ada aroma oligarki: mereka yang diuntungkan karena hubungan orangtuanya dengan Jokowi dan masuk dalam politik turun-temurun atau hereditary politics.

Setidaknya ada tiga orang yang mendapat jabatan dalam pemerintahan Jokowi jilid II dan sebagian orang percaya hal itu lantaran kedekatan orangtuanya dengan sang presiden. Mereka merupakan Angela Herliani Tanosoedibjo selaku Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta dua staf khusus Jokowi: Diaz Hendropriyono dan Putri Indahsari Tanjung.

Angela dan Putri adalah anak dari dua konglomerat di Indonesia, sedang Diaz adalah putra mantan Kepala Badan Intelijen Negara, A.M Hendropriyono. Sebelumnya sekjen Partai Perindo, Ahmad Rofiq, sudah lebih dulu menyebut nama Angela. Ia mengatakan Angela bisa jadi panutan anak muda karena tergolong muda, cerdas, dan cantik.

Indonesia Negara Demokrasi, Sangat disayangkan apabila Negara kita yang Demokrasi ternodai oleh Nepotisme yang kejam, rasanya seperti dikuasai oleh pihak tertentu. Seharusnya masyarakat dapat ikut serta dalam pemerintahan, tetapi politik dinasti menjadi penyakit yang hadir di tengah tengahnya bagai tak punya dosa, keluarga hadir membentengi, mengalahkan mereka yang berkompeten dan hanya berputar di kalangan elite politik.

Dilihat dari kacamata lain, politik dinasti pun mempunyai sesuatu yang baik, salah satunya calon pemimpin kelak lebih dikenal masyarakat, dan sudah mendapatkan pemahaman politik sejak dini dalam lingkungan keluarganya namun acap kali di Indonesia dijadikah ajang aji mumpung, ketika sang ayah berkuasa diwariskanlah kekuasaan serupa untuk anak, istri, atau anggota keluarga yang lain. Akhirnya yang berkembang adalah format patrimonial dengan kutub ekstremnya: negara patrimonial. Sebagaimana berlaku pada monarki tradisional, di negara patrimonial kekuasaan, baik politik maupun ekonomi, diwariskan secara turun-temurun di antara para keluarga.

Politik Dinasti Dengan Lingkar Oligarkinya

Negara Islam biasanya merupakan kerajaan, yang memiliki pemimpin turun temurun, meskipun agama di Indonesia mayoritas adalah islam, tapi jika dilihat dari sistem pemerintahannya Indonesia bukanlah Negara berbentuk Kerajaan, yang menggunakan sistem turun temurun. Indonesia berbentuk Negara kesatuan, maka sangat tidak riskan jika politik dinasti dilakukan di Indonesia. Meskipun dalam islam tidak selalu bersifat turun temurun.

Walau politik dinasti tidak dilarang, namun politik dinasti tidak memberikan keuntungan malah menimbulkan kerugian, tetapi di Indonesia sudah menjadi budaya yang sulit dihilangkan. Sempat ada Undang undang yang mengatur tentang politik dinasti  UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Dalam Pasal 7 huruf r disebutkan:

“Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.” Dan yang di maksud dengan “kepentingan dengan pertahana” adalah “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan”. Namun pasal tersebut dihapus oleh MK karena bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.

Salah satu prinsip  utama demokrasi adalah kebebasan kepada rakyat untuk memilih dan menentukan secara langsung siapa yang dipercayanya untuk memimpin negeri ini. Dan salah satu cita — cita reformasi tentu adalah mengatur dan membatasi masa jabatan pemimpin tadi, agar tercipta regenerasi kepemimpinan yang sehat untuk negeri, dan jauh dari stagnasi juga oligarki. Siapapun diantara kita yang sekarang menjabat pada posisi tertentu di negeri ini pasti menyadari, bahwa kita berada pada jabatan sekarang inipun karena adanya semangat regenerasi, demokrasi, dan reformasi. Demokrasi dan reformasi hadir tentu bukan untuk kita kebiri ataupun khianati.

Sementara itu Lokataru Foundation mendesak Presiden Joko Widodo alias Jokowi untuk memutus lingkaran setan oligarki politik di Indonesia.

Jokowi juga didesak mematuhi amanat konstitusi Undang-Undang 1945 dan HAM terkait kebebasan sipil warga negara yang kekinian dinilai mulai dikerdilkan.

Peneliti Lokataru Foundation Mufti Makarim menilai salah satu cara Jokowi untuk memutuskan lingkaran setan oligarki yakni dengan mengkaji ulang seluruh rencana pembangunan, membersihkan kabinet dari pelangggar HAM, hingga menghentikan seluruh aktivitas pemberangusan terhadap kebebasan sipil.

“Elemen masyarakat sipil yang peduli dan hendak melawan segala upaya pengerdilan ruang kebebasan sipil menyerukan pemerintah Jokowi untuk memutuskan lingkaran setan oligarki politik di Indonesia,” kata Mufti dalam diskusi publik bertajuk ‘Proyeksi Kebebasan Sipil di Periode Kedua Pemerintahan Joko Widodo’ di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.

Mufti mengungkapkan lima tahun belakangan ini di era kepemimpinan periode pertama Jokowi hanya berambisi terhadap pembangunan fisik, investasi, dan pembangunan ruang-ruang industri baru.

Namun, kata dia, pembangunan fisik tersebut tanpa diimbangi dengan pembangunan terhadap infrastruktur demokrasi serta keberpihakan terhadap pemenuhan hak-hak warga dan kepentingan publik.

“Ketimpangan ini makin kentara tatkala lahir kritik warga atas penggusuran lahan dan pengungsian paksa yang terus mengikuti di belakang rencana pembangunan Jokowi. Kritik diberangus melalui kriminalisasi, aktivis diintimidasi, diskusi dibubarkan, demonstrasi dikepung moncong senjata,” ujarnya.

Sementara itu, Mufti mengatakan Pilpres 2019 lalu yang sejatinya sebagai momentum demokrasi untuk mengoreksi terhadap kepemimpinan politik penguasa justru kekinian dinilai habis dibagi-bagi oleh elit politik dan oligarki.

Mufti menyebut kemenangan kedua Jokowi di Pilpres 2019 lalu mensyaratkan utang politik yang besar dan perlu dibayar melalui proyek-proyek strategis, pengesahan undang-undang yang pro industri dan investasi, serta berbagai insentif lainnya.

“Terjebak di antara kelindan elit dan korporasi ini, jelas lingkaran konflik agraria, penggusuran dan perusakan lingkungan yang sudah kami temui di periode pertama dapat terulang kembali. Demikian pun juga pengerdilan ruang kebebasan sipil berpotensi terus terjadi dalam skala dan frekuensi yang berlipat ganda,” tandasnya.

Kenapa Tak Semua Akademisi Berakhir Sukses?

Kenapa Tak Semua Akademisi Berakhir Sukses?

Kenapa Tak Semua Akademisi Berakhir Sukses? – Pendidikan selama 12 tahun tidak menyebabkan sebagian orang bahagia dengan bekal pendidikan yang di dapat, sebagian besar  condong lebih pilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Alasannya lumayan beragam, ada yang menyatakan “belum siap untuk bekerja”, ada juga “supaya lebih terpandang”, dan ada juga yang menjawab  dengan “saya hanya sebatas bahagia belajar”.

Pada era sekolah, setiap anak tidak perlihatkan mutu diri, menonjolkan pribadinya bakal melangkah ke arah mana, contohnya ada yang menyukai pelajaran bahasa inggris, maka ia merasa pantas untuk jadi seorang guru bahasa inggris, diplomat, atau tour guide, Ada juga yang selama sekolah senangmengikuti organisasi/ekstrakurikuler yang melibatkan kativitas fisik layaknya paskibra, dan berambisi untuk jadi seorang aparat keamanan negara. idn poker

Kenapa Tak Semua Akademisi Berakhir Sukses?

Di sebagian negara  dengan mutu pendidikan yang baik, pelajar tingkat menengah atas setidaknya telah memilih/menyiapkan cara tepat dan mengembangkan potensi diri mereka sesuai yang direncanakan, maksudnya saat seorang anak telah menyadari dirinya yang berkompetensi di bidang pemrograman, ia telah mempersiapkan diri untuk jadi seorang Programmer atau teknisi komputer. https://www.benchwarmerscoffee.com/

Anak yang punyai jiwa seni pilih untuk jadi seniman di era depan. Lalu apa yang membedakannya  dengan pelajar Indonesia?

Pelajar di Indonesia, yang menempuh jenjang menengah atas, tetap ditempuh untuk menyadari segalanya, dituntut untuk menyadari berbagai bidang, agar jadi bingung “saya mesti menyadari bidang apa?”, “saya dapat mempelajari seluruhnya tapi apa sebenarnya yang sebenarnya mengidamkan saya perdalami?”, “saya belum menyadari passion sya sebenarnya dimana”. Parahnya, adalah saat di perguruan tinggi, tetap ada yang menyatakan “wah sepertinya saya tidak benar jurusan nih”, “saya tidak mestinya memperdalami bidang ini”, “saya punyai nilai akademik yang lumayan baik, tapi tidak ada satupun yang menyebabkan saya begitu nyaman”.

Tidakkah pertanyaan-pertanyaan itu jadi ironi? mengapa kita tetap merasa kebingungan di usia yang lumayan matang? ini yang ada di asumsi kita sesudah mengurai ragam pertanyaan diatas. Penulis sempat lakukan observasi tentang pertanyaan tentang visi menempuh pendidikan bagi mahasiswa, hasilnya lumayan mengagetkan. 20 dari 33 mahasiswa tidak menyadari apa yang jadi visi sementara menempuh pendidikan di perguruan tinggi, benar-benar disayangkan bukan?

jika kita memandang bagaimana orang-orang sekelas BIll Gates, Mark Zuckerberg, Steve Jobs, atau kemungkinan Chairul Tanjung yang merupakan satu dari deretan orang kaya di Indonesia. Apa yang menyebabkan mereka jadi orang yang sukses besar? Mereka adalah segelintir orang yang dapat memanajemen potensi diri dan berani menyita efek untuk mengembangkannya. Lalu terlihat kembali pertanyaan “lalu bagaimana kita yang tidak benar jurusan ini, apakah tetap dapat mengembangkan potensi diri?” tentu saja !

Penulis baru kurang lebih satu bulan yang lantas menyadari fakta bahwa papa Chairul Tanjung punyai latar belakang telaten pengetahuan Kedokteran gigi di Universitas Indonesia. informasi ini penulis dapatkan sementara mengikuti interview bekerja sementara itu, seorang HRD menceritakan latar belakang beliau, saya yang hanya mendengar cerita dari HRD pun merasa terpukau, bagaimana seseorang yang punyai latar belakang demikianlah rela mengesampingkan telaten studinya demi melanjutkan usaha sampai sementara ini bisnisnya jadi usaha raksasa ditengah kapitalisme. Menakjubkan bukan?

Jangan pernah merasa menyesal, rugi, ataupun pesimis dengan apa yang telah kita dapat di dunia akademik, karena Nadiem Anwar Makariem, menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita pernah berbicara “menempuh pendidikan di perguruan tinggi itu bukan untuk bekerja, tapi untuk belajar”. Namun daripada itu, mari berbenah, temukan potensi diri dan kembangkan merasa dari sekarang, jangan sangsi untuk memulai cara anak tangga kesuksesan. Karena untuk jadi sukses, seorang manusia mesti bergerak maju, dan satu-satunya cara untuk maju adalah melangkah.

Jangan sangsi untuk mengemban resiko, dan jangan biarkan diri kita lengah karena benar-benar nyaman. Buatlah diri jadi terancam, agar hidup lebih tertantang.

Kami Dituntut Sukses oleh Orangtua dengan Cara Tidak Bahagia :

Memiliki anak yang berprestasi di sekolah merupakan kebanggaan setiap orang tua. Namun dalam prosesnya, anak sebagai pelajar tidak hanya dituntut untuk mampu menyelesaikan tugas-tugas akademik dari sekolah dengan baik. Perjalanan meraih prestasi di sekolah juga dibumbui oleh tekanan-tekanan dari orangtua yang tanpa disadari menambah beban pada anak.

Kenapa Tak Semua Akademisi Berakhir Sukses?

Artikel ini adalah catatan kecil dari kami, anak-anak yang lelah dengan semua tekanan dan beban demi pemenuhan kualitas akademis. Ini adalah tentang kami yang lelah masih harus menjalani bimbingan belajar sepulang sekolah. Padahal di dalam tas kami sudah menunggu pekerjaan rumah dari sekolah untuk dikerjakan. Kami bukan ingin mengeluh. Kami ingin sesekali, lelah dan beban kami juga didengarkan. Sebagaimana kami terus-menerus mendengarkan keinginan dan harapan orangtua untuk pendidikan kami.

Apakah Tetap Menjadi Kebanggaan Orangtua Meski Kami Tidak Berprestasi?

Orangtua bangga mempunyai anak berprestasi. Wajah bahagia orangtua dipamerkan kepada khalayak atas kebanggaan terhadap kesuksesan anak-anaknya. Kebahagiaan yang orangtua rasakan tentu tidak ingin berakhir satu waktu saja, orangtua berharap selalu bahagia jika anaknya sukses.

Kebahagiaan orangtua seakan adalah tanggungjawab kami sebagai anak yang diharuskan mengikuti perintahnya. Kami takut tidak dapat memenuhi keinginan orangtua, takut jika kami tidak unggul dalam bidang akademik. Kami akan mendapat label sebagai anak bodoh, atau malu dengan keluarga besar. Orangtua khawatir dicemooh bahwa mereka tidak mampu mendidik kami. Kami menjadi tidak percaya diri dan mudah minder. Keberanian untuk melangkah itu surut.

Selalu Diminta untuk Mengerti, namun Kami juga Ingin Dimengerti

Sudah menjadi kewajiban orangtua untuk mengasuh, mengawasi, dan memberi perhatian pada anak. Orangtua mempunyai standar kekuasaan dalam pengasuhannya. Anak diwajibkan untuk menaati perintah orangtua.

Kami tidak ingin dianggap anak durhaka karena tidak mengikuti perintah orang tua. Kami berupaya untuk taat terhadap peraturan yang diberikan oleh orang tua. Namun, sejujurnya kami mengalami banyak kesulitan saat melakukan sesuatu yang di luar kehendak dan kemampuan kami. Ketika orangtua menyuruh kami untuk mengikuti bimbingan belajar seperti pelajaran matematika atau mengikuti les musik, agar kami terlihat keren, tetapi dibalik itu, kami merasa berat dan beban. Kami lebih menyukai suatu hal yang kami anggap mampu dan menyenangkan untuk kami kerjakan.

Orangtua terus memaksa dan menekan anak untuk terus melakukan kegiatan tanpa henti. Jika kami tidak mengikuti perintahnya, mereka akan menghukum dan memarahi kami. Tetapi, apakah pernah orangtua bertanya apa bakat dan minat kami?

Rintangan Sulit namun Membahagiakan

Orangtua yang memberi kesempatan kami untuk menentukan keputusan sendiri berdampak pada kemudahan kami untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya. Kami dibiarkan untuk melakukan apa saja sesuai kehendak dan tanpa paksaan tetapi tetap dalam pengawasan orangtua. Memutuskan segala sesuatu secara mandiri membuat kami bahagia namun terkadang ditemukan rintangan sulit. Rintangan sulit menjadi tantangan bagi kami sebagai bukti kepada orangtua bahwa kami mampu melewatinya. Meskipun begitu, kami bahagia berada pada alur jalan yang kami pilih sendiri.

Tulisan ini adalah untuk memahami kami yang merasa lelah, memikul beban di pundak kami karena mendapat banyak tuntutan dari orangtua. Kami terlihat kuat pada lapisan luar tubuh kami, padahal sesungguhnya dalam batin kami rapuh. Kami tidak kuat untuk menanggung keluh kesah yang kami simpan dan sembunyikan selama ini.

Kami membutuhkan dukungan dan perhatian orangtua, dalam segala aktivitas yang kami tentukan sendiri. Sehingga kami menjadi percaya diri dan berani untuk melangkah menuju kesuksesan. Orangtua pun dapat bahagia dengan kesuksesan yang diraih atas kehendak kami. Menjadi orangtua seutuhnya yang ada dikala anak suka maupun duka adalah keharusan namun membiarkan anak memilih jalannya sendiri adalah suatu tantangan bagi orangtua.