Hambatan Terbesar Jokowi Dalam Menyelesaikan Kasus HAM
pindonga.tv

Hambatan Terbesar Jokowi Dalam Menyelesaikan Kasus HAM

Hambatan Terbesar Jokowi Dalam Menyelesaikan Kasus HAM – Riset dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Litbang Kompas mengungkapkan mayoritas masyarakat Indonesia menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin kesulitan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu karena ingin menjaga harmonisasi politik atau nuansa politis.

Didasarkan pada hasil riset itu, 73,9 % responden menganggap nuansa politis menjadi hambatan utama. Selain daripada itu, 23,6% persen beranggapan presiden tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah kasus HAM masa lalu, dan hanya 2,5% yang menjawab tidak tahu.

Hambatan Terbesar Jokowi Dalam Menyelesaikan Kasus HAM

“Hasil tersebut mengkonfirmasi bahwa kasus pelanggaran HAM berat bukan karena teknis hukum. Jika masih saling lempar pendapat, kurang bukti dan macam-macam, itu dibantah sendiri oleh masyarakat.

“Andai saja hambatan ini bisa diselesaikan, maka 90 hari proses penyidikan, lalu masuk penuntutan sehingga tidak sampai satu tahun bisa diselesaikan di pengadilan. Bila hambatan politisnya bisa dikurangi,” kata komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Rabu (04/12). poker asia

Salah satu media pers Indonesia berusaha menghubungi kantor kepresidenan untuk meminta tanggapan atas hasil survei itu, namun hingga berita ini diturunkan belum mendapat jawaban. https://www.mrchensjackson.com/

Dalam visi-misi kampanye Pilpres 2019, Jokowi-Ma’ruf berjanji bakal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di era lalu. Belakangan ini pemerintah mengungkapkan rencana untuk membangkitkan ulang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk selesaikan kasus-kasus tersebut yang sepanjang ini terbengkalai.

Ketika konferensi pers tentang survei untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu pada era kepemimpinan Joko Widodo itu, peneliti Litbang Kompas Christian M. Marpaung memberikan penjelasan bahwa hambatan politis merupakan hasil dari proses pengkodean atas semua jawaban yang disampaikan responden.

Pendapat beliau, mayoritas responden memandang faktor politik sebagai penghambat utama, seperti kepentingan untuk menjaga supaya tidak memunculkan kericuhan dan merusak harmoni politik.

Penelitian tersebut menggunakan metodologi kuantitatif survei dengan melakukan wawancara tatap muka di 34 provinsi. Jumlah para responden yaitu 1200 orang dengan batas galat sekitar 2,8% dan dilakukan pada September 2019 hingga Oktober 2019.

Survei itu mengambil lima kasus pelanggaran HAM yang menarik perhatian publik, yaitu pelanggaran HAM pada tahun 1965, penembakan misterius dari tahun 1982 hingga 1985, penculikan aktivis pada 1997 hingga 1998, penembakan di Trisakti dan Semanggi tahun 1998, dan kerusuhan Mei 1998.

Ahli khusus politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai hambatan tersebut muncul karena ada beberapa figur penting yang diduga terlibat pelanggaran HAM masa lalu sedang memegang jabatan politik. Sehingga, pendapatnya, pejabat tersebut berkepentingan untuk mempetiemaskan kasus HAM tersebut agar tidak menjatuhkan karier politiknya.

“Dikarenakan negara, pemerintah, tidak berani, karena itu melibatkan orang penting di negeri ini, karena punya rahasia juga terhadap negara ini. Ada tekanan politik.

“Ini merupakan lingkaran setan, lingkaran kusut, hari demi hari, tahun demi tahun, dari periode-periode sebelumnya tidak pernah tuntas. Hal tersebut jadi persoalan di bangsa ini,” kata Ujang yang juga menjabat sebagai direktur eksekutif Indonesia Political Review (IPR).

‘Pengadilan, bukan rekonsiliasi’ pelanggaran HAM

Selain daripada itu, survei tersebut juga menunjukan bahwa 99,5% responden ingin penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur pengadilan, yang mana 62,1%ingin menggunakan pengadilan nasional dan 37,2% melalui pengadilan internasional.

Kemudain, hanya 0,5% yang ingin kasus itu diselesaikan dengan mekanisme lainnya, salah satunya seperti pembentukan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang kini sedang diwacanakan oleh pemerintah.

“Sehingga jika sekarang mau rekonsiliasi, itu salah satu bagian dari 0,5%. Jadi selesaikan menarasikan KKR karena mayoritas masyarakat ingin penyelesaian melalui jalur pengadilan. Komnas khusus HAM menghormati penyelesaian di pengadilan nasional maupun internasional,” kata Choirul Anam.

Choirul pun melanjutkan temuan menarik lainnya dalam survei tersebut adalah belasan persen responden yang menganggap peristiwa 1965, Petrus 1982-1985, penculikan aktivis 1997-1998, penembakan Trisakti-Semanggi 1998, dan kerusuhan Mei 1998 sudah diselesaikan. Padahal, hingga kini, menurutnya, kelima kasus tersebut belum ada yang tuntas.

Pendapatnya, pemerintah dalam lima tahun terakhir menggunakan metode penyelesaian kasus HAM dengan pendekatan kekeluargaan dengan saling memaafkan, lalu pendekatan budaya, dan ganti rugi yang ditunjukan dengan munculnya tim terpadu dan dewan-dewan kerukunan nasional dan menyampaikan pesan bahwa kasus itu telah selesai.

“Mengapa muncul angka bahwa itu sudah selesai bisa jadi karena pengaruh kampanye bahwa kasus ini sudah selesai, tinggal salam-salaman saja, terus kasih hak korban. Itu merupakan yang lima tahun terakhir sering didengungkan berbagai pihak yang tidak mau kasus ini diselesaikan dengan cara hak asasi manusia,” katanya.

Penyelesaian kasus masih simpang siur di mata publik, berikut hasilnya:

– Kejadian 1965: 38,6% tidak tahu, 34,9% belum tuntas, 19,2% sudah tuntas

– Tembakan misterius 1982-1985: 44,8% tidak tahu, 32,1% belum tuntas, 15,7% sudah tuntas

– Diculiknya aktivis 1997-1998: 43,4% belum tuntas, 36,5% tidak tahu, dan 12,4% sudah tuntas

– Tembakan ke Trisakti-Semanggi 1998: 42,2% belum tuntas, 37,3% tidak tahu, 14,4% sudah tuntas

– Kerusuhan pada Mei 1998: 40% belum tuntas, 35,2% tidak tahu, 15,9% sudah tuntas.

– Choirul pun berharap melalui survei tersebut, pemerintah dapat mengambil kebijakan yang tepat sasaran dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.

Seiringnya hal itu, Ujang mengatakan, penyelesaian kasus HAM masa lalu akan terjadi jika ada keinginan politik dari pemimpin negara dan pemerintah Indonesia, yaitu Presiden Joko Widodo, untuk menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi.

Pendapatnya, Jokowi merupakan pemegang kunci utama untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.

Hambatan Terbesar Jokowi Dalam Menyelesaikan Kasus HAM

Kasus agraria

Bukan hanya perkara pelanggaran HAM, Komnas juga mencermati kasus agraria yang terjadi seiring berbagai proyek infrastruktur di era pemerintahan Jokowi.

Jumlah dari kasus tersebut dikhwatirkan meningkat setelah dicapai kesepakatan investasi infrastruktur senilai lebih dari Rp245 triliun dalam pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, pekan lalu.

“Kami merasa khawatir, semakin besar investasi infrastrukur, lahan akan semakin dikuasai swasta. Bukan hanya terjadi pengosongan lahan, tapi juga intimidasi terhadap masyarakat,” kata Taufan.

Walaupun begitu, Komnas HAM mencatat perbaikan pengelolaan konflik saat Jokowi menerbitkan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria.

Beleid itu menjamin strategi mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan dan proses penanganan sengketa agraria.

“Isu agraria nilai untuk pemerintah belum sampai 50 karena kasusnya banyak sekali. Tapi paling tidak sudah ada kerangka hukum meski belum memuaskan,” ujar Taufan.

Pada catatan Komnas HAM, dalam setahun terakhir kasus intoleransi dan pelanggaran atas kebebasan berekspresi marak terjadi di Indonesia.

Taufan menyebut kepolisian gagal menindak pelaku penyerangan kelompok rentan seperti Ahmadiyah. Di sisi lain, kepolisian dianggap tak netral dalam sejumlah kasus pembubaran diskusi maupun persekusi kelompok minoritas.

“Pekerjaan rumah masih cukup banyak, karena tinggal beberapa bulan lagi, pemerintah seharusnya menetapkan skala prioritas penyelesaian kasus,” kata Taufan.

You may also like...