“LGBT”, Parpol Beresiko Dicap Negatif Jika Mendukung

“LGBT”, Parpol Beresiko Dicap Negatif Jika Mendukung

“LGBT”, Parpol Beresiko Dicap Negatif Jika Mendukung – Partai-partai politik tidak akan berani memperlihatkan bahwa pihaknya mengakomodir komunitas LGBT (lesbian, gay, bisexual dan transgender) dikarenakan hal tersebut memiliki konsekuensi politis yang sangat mendalam dan juga merugikan partai secara hitungan elektoral, menurut pengamat politik Universtias Andalas, Asrinaldi.

Dia menyampaikan hal itu ketika dimintai pendapatnya terkait kejadian pekan lalu ketika Parta Gerindra melalui cuitan di Twitter menyatakan pihaknya tidak setuju dengan Kejaksaan Agung yang melarang LGBT menjadi CPNS. poker99

Hal itu setelah itu diakui sebagai pengakuan yang menopang LGBT dan mendorong pihak partai untuk mengklarifikasi sikap mereka yang utamakan dukungan terhadap hak warga negara di dalam mencari pekerjaan.

“LGBT”, Parpol Beresiko Dicap Negatif Jika Mendukung

Asrinaldi mengatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan mayoritas penganut agama Islam dan secara tahu tidak sepakat bersama LGBT yang diakui sebagai tabiat menyimpang. https://www.americannamedaycalendar.com/

Untuk masalah tersebut, Dede menambahkan, untuk kedalam konteks Pemilu atau Pilkada,dapat cenderung lebih banyak partai politik yang meyakinkan penentangannya sebab tahu bahwa kelompok LGBT sebenarnya merupakan kelompok minoritas di Indonesia bersama dengan jumlah suara yang kecil.

“Sehingga mereka pun tak apa rugi itu, ketimbang dari pada dia berbicara mengenai idealisme tetapi ya rugi secara elektoral masyarakat yang mayoritas Muslim, atau Islam, yang mampu menentang atau berikan label bahwa pada suatu partai itu merupakan pendukung LGBT,” ujar Asrinaldi kepada salah satu area berita Indonesia.

Beliau pun juga mengatakan bahwa sebuah partai akan berisiko dicap ‘negatif’ kecuali terkesan membantu komunitas LGBT, biarpun sebagai warga negara kelompok selanjutnya miliki hak yang serupa di mata hukum cocok yang diamanatkan di di didalam Undang-Undang Dasar. Namun Asrinaldi meyakinkan bahwa masyarakat tetap sulit membedakan pada tingkah laku seseorang dan haknya sebagai warga negara.

Wakil Sekjen Partai Gerindra, Andre Rosiade kala ditanya tentang cuitan account partainya, bersama jelas mengatakan sikap yang menentang tingkah laku LGBT

“Gerindra tak pernah mendukung LGBT,” kata Andre Rosiade, saat dihubungi salahsatu media berita Indonesia, pada hari Senin.

“Jati diri Gerindra perlihatkan bahwa Gerindra salah satu partai nasionalis, merakyat dan religius. Tak kemungkinan dong Gerindra membantu LGBT. Jadi yang dimaksudkan admin Twitter kami, sebenarnya bahwa prilaku mereka [LGBT] sebenarnya salah. Tapi jangan hingga hak mereka sebagai warga negara ditiadakan,” tambahnya.

Dalam penentuan legislatif lalu, Gerindra nampak sebagai partai terbesar ketiga yang mendiami 78 kursi berasal dari 575 kursi DPR RI.

‘Isu sensitif’

Mengenai isu ini, Asrinaldi, seorang Dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, menjelaskan bahwa sikap Partai Gerindra yang dengan paham menentang LGBT berdasarkan pertimbangan politik dengan paham potensi kuantitas suara.

“Memang hal itu resikonya yang kudu dipilih oleh Partai Gerindra, jikalau sebenarnya dia menganggap itu sebagai cara populer dia untuk tingkatkan nada pemilih di luar grup LGBT, pasti itu pertimbangan politik,” ujarnya.

“Walaupun sebagai partai yang berkuasa pada hari ini, apa yang dilakukannya itu paham diskriminatif, menurut aku layaknya itu. Dan ingat bahwa negara kami itu adalah negara Pancasila, bukan negara didalam konteks agama tertentu. Jadi sebenarnya kudu tersedia pembedaan juga.”

Namun, Asrinaldi mengakui bahwa pemahaman di kalangan penduduk lazim tetap kurang.

“Ini sebenarnya agak sensitif, walau didalam konteks ini kemungkinan partai hanya mengakomodir area bagi mereka [kelompok LGBT] mampu berpartisipasi didalam politik. Tetapi ketika ini tidak hingga komunikasinya pada publik, publik akan memberi label negatif kepada partai itu. Kalau itu terjadi, paham efek elektoralnya sangat besar sekali,” ujarnya.

Sikap serupa termasuk ditunjukkan oleh PDI Perjuangan yang merupakan pemenang penentuan legislatif 2019.Sebagaimana dikatakan oleh anggota Komisi I DPR Fraksi PDIP, Effendi Simbolon, partai selanjutnya terbuka dan inklusif agar tidak membatasi baik secara gender, agama, latar belakang maupun suku.

Dia pun menjelaskan bahwa nilai-nilai agama dan budaya yang dianut di Indonesia sebenarnya tidak menerima prilaku itu, walau isu selanjutnya merupakan hak privasi seseorang.

“Itu kan persoalan keyakinan, karena menjadi persoalan keyakinan, persoalan prinsip, ya memang, kami secara terbuka tidak pernah melakukan proses yang diskriminatif. Tapi sekaligus termasuk tidak memposisikan membela kepentingannya LGBT,” ujar Effendi.

Untuk sementara dari persoalan itu, dan untuk beberapa jumlah persoalan-persoalan yang terpisah pada bulan Januari lalu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) membantah membuat spanduk yang bertuliskan “PSI Hargai Hak-Hak LGBT” yang terpampang di sejumlah titik di jembatan penyeberangan di Jakarta.

PSI, yang adalah salah satu partai pendatang baru pada pemilu di bulan April lalu, cepat didalam menanggapi kejadian selanjutnya sesudah gambar-gambar mengenai spanduk menjadi viral di sarana sosial ketika itu.

PSI menolak keinginan wawancara dengan salahsatu sarana pers Indonesia pada hari Senin tempo hari ketika ditanyakan sikap partai berkaitan isu LGBT.

“LGBT”, Parpol Beresiko Dicap Negatif Jika Mendukung

‘Mempromosikan kesetaraan’

Menurut seorang aktivis, Dede Oetomo, yang dimana merupakan salah seorang pendiri dari Gaya Nusantara, organisasi nirlaba yang fokus memperjuangkan hak-hak LGBTIQ, mengakui bahwa komunitas LGBT dianggap sebagai golongan yang mampu merugikan didalam ranah bidang politik.

Dia pun memberikan penjelasan bahwa organisasinya, yang bergerak di Provinsi Jawa Timur, konsisten menggerakkan program untuk mendekati beragam pemangku kepentingan masyarakat, termasuk politikus, dengan obyek membuat perubahan penduduk menjadi lebih terbuka pada grup minoritas.

“Apabila coba untuk diamati, berasal dari sepengertian kami mengenai demokrasi, di didalam demokrasi itu seharusnya kami termasuk mempunyai hak untuk mempromosikan kesetaraan gender dan seksualitas,” ujar Dede kepada salahsatu sarana pers Indonesia melalui kelanjutan telepon.

Ia memberi tambahan bahwa partai politik berperan mutlak didalam menghadapi intoleransi.

“Bagi aku ini tantangan jangka panjang, hingga suatu kala nanti, politisi Indonesia lebih berani dan suasananya memungkinkan,” kata Dede.

Dari hasil sebuah penulusuran yang memberikan Laporan LGBT Nasional Indonesia yang dimana – Hidup Sebagai LGBT di Asia terhadap tahun 2013, yang disusun oleh Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan bekerja serupa dengan Badan Program Pembangunan PBB (UNDP), kuantitas organisasi LGBT di Indonesia relatif besar.

Laporan itu menjelaskan ada dua jaringan nasional dan 119 organisasi yang didirikan di 28 dari 34 provinsi di Indonesia.

Sebagian besar di antaranya aktif berperan di bidang kesehatan, publikasi, dan penyelenggaraan aktivitas sosial dan pendidikan.

Untuk informasi yang menunjukkan akan berapa nilai dari jumlah LGBT di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun pada catatan Kementerian Kesehatan pada tahun 2012, memperkirakan terdapat 1.095.970 LSL (lelaki sama lelaki) di Indonesia. Angka itu diprediksi terus bertambah.

RKUHP : Diskriminasi Terhadap LGBT :

Seputar Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai akan semakin membuat kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) terdiskriminasi.

Sebab, Pasal 421 (1) tentang pencabulan menyebutkan secara eksplisit soal perbuatan cabul sesama jenis.

“Setiap individu yang dimana melakukan sebuah pencabulan atau pebuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sesama jenis kelaminnya di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun enam bulan atau pidana denda terbanyak kategori III,” demikian bunyi pasal itu.

Sementara jika perbuatan cabul itu dilakukan secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, ancaman pidananya adalah penjara maksimal sembilan tahun. Begitu juga ancaman pidana untuk tindakan cabul yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi.

Anggara, Direktur Institute for Criminal Justice (ICJR) menilai penentuan unsur pidana pencabulan tak diperlukan penegasan mengenai jenis kelamin.

“Sebagian dari syarat yang terdapat dalam hukum dapat mengkriminalisasikan seorang atas pencabulan telah terpenuhi sehingga penyebutan jenis kelaminnya berbeda atau sama secara redaksional tidak perlu,” kata dia.

Selain memicu perlakuan diskriminatif, ia khawatir kemunculan pasal tersebut akan melahirkan peraturan turunan yang tak ramah kepada kelompok LGBT.

“Pada levelnya peraturan seperti ini jelas akan semakin memicu kerentanan bagi kelompok orientasi seksual yang berbeda untuk dikriminalisasi maupun distigma ketika bergaul dalam hidup bermasyarakat,” tuturnya.

Berdasarkan data dari LBH Masyarakat, sepanjang tahun 2017 terdapat lebih dari 973 kasus kekerasan terhadap komunitas minoritas seksual (LGBT) atau sesama jenis di seluruh Indonesia.

Angka-angka ini diprediksi kian meningkat jika Pemerintah dan DPR tetap memaksakan rumusan diskriminatif dalam RKUHP. Karena itu ICJR menegaskan penolakannya terhadap ketentuan ini.

“Untuk menghindarkan celah kesewenang-wenangan oleh negara dalam memasuki ruang-ruang privasi warga negara dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual,” pungkas Anggara.

Pada beberapa waktu lalu, Komisi III DPR dan Pemerintah sudah sepakat membawa naskah RKUHP ke Rapar paripurna DPR untuk disepakakati.